Muqaddimah Mufidah

Abu Bakar ibnul-Anbari mengatakan, “Telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ishaq Al-Qadi, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah yang pernah mengatakan bahwa surah-surah yang diturunkan di Madinah ialah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah, Bara-ah (At-Taubah), Ar-Ra’d, An-Nahl, Al-Hajj, An-Nur, Al-Ahzab, Muhammad, Al-Fath, Al-Hujurat, Ar-Rahman, Al-Hadid, Al-Mujadilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahanah, As-Shaf, Al-Jumu’ah, Al-Munafiqun, At-Taghabun, dan At-Thalaq serta ayat:

يا أيها النبي لمَ تُحَرِّم، وإلى رأس العشر، وإذا زلزلت، وإذا جاء نصرُ الله

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya.” (At-Tahrim:1), sampai dengan permulaan ayat yang kesepuluh, juga surah Az-Zalzalah dan An-Nasr. Semua surat yang disebut di atas diturunkan di Madinah, sedangkan surat-surat lainnya diturunkan di Makkah.”

Ayat Al-Qur’an seluruhnya berjumlah enam ribu ayat, kemudian selebihnya masih diperselisihkan oleh beberapa ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan tidak lebih dari 6.000 ayat, ada pula yang mengatakan lebih dari 204 ayat. Menurut pendapat yang lain lebih dari 214 ayat, pendapat yang lainnya lagi mengatakan lebih dari 219 ayat. Pendapat lain mengatakan lebih dari 225 atau 226 ayat. Ada pula yang mengatakan lebih dari 236 ayat. Semuanya itu diketengahkan oleh Abu Amr Ad-Dani di dalam kitab Al-Bayan.

Jumlah kalimat Al-Qur’an menurut Al-Fadhil ibnu Syazan, dari Atha’ ibnu Yasar, adalah 77.439 kalimat.

Jumlah semua huruf dalam Al-Qur’an menurut Abdullah ibnu Katsir, dari Mujahid, adalah 321.180 huruf. Sedangkan menurut Al-Fadl ibnu Ata ibnu Yasar adalah 323.015 huruf.

Salam Abu Muhammad Al-Hammani mengatakan bahwa Al-Hajjaj pernah mengumpulkan semua ahli qurra, para huffaz, dan penulis khat Al-Qur’an, lalu ia bertanya, “Ceritakanlah kepadaku tentang seluruh Al-Qur’an, berapakah jumlah hurufnya?”. Al-Hammani melanjutkan kisahnya, “Lalu kami menghitungnya, dan akhimya mereka sepakat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat 340.740 huruf.”

Kemudian Al-Hajjaj bertanya, “Ceritakanlah kepadaku tentang pertengahan Al-Qur’an!” Setelah kami hitung, ternyata pertengahan Al-Qur’an jatuh pada huruf ‘fa’ dari firman-Nya dalam surat Al-Kahfi, yaitu:

وَلْيَتَلَطَّفْ

“Dan hendaklah dia berlaku lemah lembut.” (Al-Kahfi:19)

Sepertiga yang pertama dari Al-Qur’an jatuh pada permulaan ayat yang keseratus dari surah Al-Bara-ah (At-Taubah), sepertiga yang kedua jatuh pada permulaan ayat yang keseratus atau keseratus satu dari surah Asy-Syu’ara, sedangkan sepertiga yarg terakhir hingga sampai pada akhir dari Al-Qur’an (mushaf).

Sepertujuh yang pertama dari Al-Qur’an jatuh pada huruf ‘dal’ dari firman-Nya:

فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ بِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ

“Maka di antara mereka (orang-orang yang dengki itu) ada orang-orang yang beriman kepadanya, dan di antara mereka ada orang-orang yang menghalangi (manusia) dari beriman kepadanya.” (An-Nisa:55)

Sepertujuh yang kedua jatuh pada huruf ‘ta’ dari firman-Nya dalam surah Al-A’raf, yaitu:

حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ

“Sia-sialah amal perbuatan mereka.” (Al-A’raf:147)

Sepertujuh yang ketiga jatuh pada huruf ‘alif’ yang kedua dari firman-Nya dalam surah Ar-Ra’d, yaitu:

أُكُلَهَا

“Buah-buahannya tiada henti-hentinya.” (Ar-Ra’d:35)

Sepertujuh yang keempat jatuh sampai huruf ‘alif’ dari firman-Nya dalam surah Al-Hajj, yaitu:

جَعَلْنَا مَنْسَكًا

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban).” (Al-Hajj:34)

Sepertujuh yang kelima jatuh pada huruf ‘ha’ dari firman-Nya dalam surat Al-Ahzab, yaitu:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin.” (Al-Ahzab:36)

Sepertujuh yang keenam sampai pada huruf ‘waw’ dari firman-Nya dalam surah Al-Fath, yaitu:

الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ

“Yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah.” (Al-Fath:6) Sedangkan sepertujuh yang terakhir ialah sampai akhir dari Al-Qur’an.

Salam Abu Muhammad mengatakan, kami mempelajari semua itu dalam waktu empat bulan.

Mereka mengatakan bahwa Al-Hajjaj setiap malamnya selalu membaca seperempat Al-Qur’an. Seperempat yang pertama sampai pada akhir surat Al-An’am, seperempat yang kedua sampai pada ‘walyatalattaf’ dari surat Al-Kahfi, seperempat yang ketiga sampai pada akhir surat Az-Zumar, sedangkan seperempat yang terakhir sampai akhir Al-Qur’an. Akan tetapi, Syekh Abu Amr Ad-Dani di dalam kitab Al-Bayan meriwayatkan hal yang berbeda dengan semuanya itu.

Dengan adanya pembagian Al-Qur’an ke dalam istilah ‘hizb’ dan ‘juz’, maka dikenallah pembagian Al-Qur’an ke dalam tigapuluh juz, sebagaimana telah terkenal pula istilah ‘perempatan’ di kalangan madrasah-madrasah dan lain-lainnya. Kami mengetengahkan dalam pembahasan yang lalu bahwa para sahabat pun telah melakukan pembagian ini terhadap Al-Qur’an.

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Dawud serta Ibnu Majah dan lain-lainnya disebutkan sebuah hadits dari ‘Aus ibnu Huzaifah, bahwa ia pernah bertanya kepada sahabat-sahabat Rasul semasa Rasul SAW masih hidup, “Bagaimanakah kalian membagi-bagi Al-Qur’an?” Mereka menjawab, “Sepertiga, seperlima, sepertujuh, sepersembilan, sepersebelas, dan sepertigabelas serta pembagian mufassal hingga khatam.”

Makna lafaz ‘surah’ masih diperselisihkan, dari kata apakah ia berakar. Suatu pendapat mengatakan bahwa ‘surah’ berasal dari penjelasan (bayan) dan kedudukan yang tinggi, seperti pengertian yang terkandung di dalam perkataan penyair An-Nabigah berikut ini:

ألم تر أنَّ الله أعطاكَ سورَةً … تَرَى كُلَّ مَلْكٍ دُونها يَتَذَبْذَبُ

“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah telah memberimu penjelasan/kedudukan yang tinggi… kamu melihat semua raja merasa bingung menghadapinya.

Seakan-akan melalui ‘surah’ tersebut si pembaca berpindah dari suatu kedudukan ke kedudukan yang lain.

Menurut suatu pendapat, dikatakan ‘surah’ karena kehormatan dan ketinggiannya sama seperti tembok-tembok pembatas negeri. Menurut pendapat yang lain, dinamakan ‘surah’ karena merupakan sepotong dari Al-Qur’an dan bagian darinya, diambil dari kata asarul ina yang artinya “sisa air minum yang ada pada wadahnya”.

Dengan demikian, berarti bentuk asalnya adalah memakai hamzah (yakni “su-run”); dan sesungguhnya hamzah di-takhfif-kan, lalu diganti dengan wawu, mengingat harakat dammah sebelumnya (hingga jadilah ‘su-run’, selanjutnya menjadi ‘surah’). Menurut pendapat yang lainnya lagi, dikatakan demikian karena kelengkapan dan kesempumaannya; orang-orang Arab menyebut unta betina yang sempuma dengan sebutan ‘surah’.

Menurut kami, dapat pula dikatakan bahwa ‘surah’ berasal dari pengertian “menghimpun dan meliputi ayat-ayat yang terkandung di dalamnya”; sebagaimana tembok pembatas sebuah negeri (kota), dinamakan ‘surah’ karena tembok tersebut meliputi semua perumahan dan kemah yang terhimpun di dalamnya. Bentuk jamak dari ‘surah’ ialah suwarun dengan huruf ‘waw’ yang di-fathah-kan, tetapi adakalanya dijamakkan dalam bentuk surat dan suwarat.

Sedangkan pengertian ‘ayat’ merupakan pertanda terputusnya suatu pembicaraan dari ayat sebelum dan sesudahnya, serta terpisah darinya. Dengan kata lain, suatu ayat terpisah dari ayat lainnya dan berdiri sendiri. Allah SWT telah berfirman:

إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ

“Sesungguhnya tanda ia akan jadi raja.” (Al-Baqarah:248)

An-Nabigah, salah seorang penyair, mengatakan:

تَوَهَّمْتُ آياتٍ لها فَعَرفْتُها … لستَّةِ أعوامٍ وذا العامُ سابعُ

“Aku mengira-ngira tanda-tanda yang dimilikinya, akhirnya aku dapat mengenalnya setelah berlalu enam tahun dan sekarang tahun ketujuhnya.”

Menurut pendapat lain, ayat adalah sekumpulan huruf dari Al-Qur’an atau sekelompok darinya, sebagaimana dikatakan kharajal qaumu bi-ayatihim, yakni “kaum itu berangkat bersama golongannya”.

Salah seorang penyair mengatakan:

خَرَجْنَا من النَّقبين لا حَىَّ مِثلُنا … بآيتنا نزجِي اللقاحَ المَطَافِلا

“Kami berangkat dari Niqbain, tiada suatu kabilah pun semisal dengan kabilah kami bersama semua golongannya, kami menggiring ternak unta.”

Pendapat yang lain mengatakan, dinamakan “ayat” karena merupakan suatu keajaiban yang tidak mampu dilakukan oleh manusia untuk membuat hal semisalnya.

Imam Sibawaih mengatakan bahwa bentuk asal ayat ialah ayayatun, sama wazannya dengan akamatun dan syajaratun; huruf ya berharakat, sedangkan harakat sebelumnya adalah fathah, maka diganti menjadi alif hingga jadilah ayatun dengan memakai hamzah yang dipanjangkan bunyinya.

Imam Kisai mengatakan, bentuk asalnya adalah ayiyatun dengan wazan seperti lafaz aminatun, lalu humf ya diganti menjadi alif, selanjutnya dibuang karena iltibas (serupa dengan hamzah). Imam Farra mengatakan, asalnya ialah ayyatun, kemudian ya pertama diganti menjadi alif karena tasydid tidak disukai, hingga jadilah ayah (ayat); bentuk jamaknya ialah ayin, ayatun, dan ayayun.

“Kalimat” artinya “suatu lafaz yang menyendiri”, adakalanya terdiri atas dua huruf, misalnya ma dan la atau lain-lainnya yang sejenis; adakalanya lebih banyak, yang paling banyak terdiri atas sepuluh huruf, seperti firman Allah SWT:

لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ

“Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa.” (An-Nur:55)

أَنُلْزِمُكُمُوهَا

“Apa akan kami paksakan kalian menerimanya?” (Hud:28)

فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ

“Lalu Kami beri minum kalian dengan air itu.” (Al-Hijr:22)

Adakalanya suatu ayat hanya terdiri atas satu kalimat, misalnya wal-fajri, wad-dhuha, wal-‘asri; demikian pula alif-lam-mim, ta-ha, yasin, haa-mim, menurut pendapat ulama Kufah. Ha mim ‘ain sin qaf menurut ulama Kufah adalah dua kalimat, sedangkan menurut selain mereka hal-hal tersebut bukan dinamakan ayat, melainkan dianggap sebagai fawatihus suwar (pembuka surat-surat).

Abu Amr Ad-Dani mengatakan, “Aku belum pernah mengetahui suatu kalimat yang menyendiri dianggap sebagai suatu ayat selain firman-Nya dalam surat Ar-Rahman, yaitu:

مُدْهَامَّتَانِ

“Kedua surga itu (kelihatan) hijau tua warnanya.” (Ar-Rahman:64)

Imam Qurtubi mengatakan, para ahli tafsir sepakat bahwa tiada suatu lafaz pun di dalam Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Ajam. Mereka sepakat pula bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa nama Ajam, misalnya Ibrahim, Nuh, dan Luth.

Tetapi mereka berselisih pendapat, apakah di dalam Al-Qur’an terdapat sesuatu dari bahasa Ajam selain hal tersebut? Al-Baqilani dan At-Tabari mengingkarinya, dan mereka mengatakan bahwa sesuatu yang terdapat di dalam Al-Qur’an lagi bersesuaian dengan bahasa Ajam, maka hal tersebut termasuk persamaan yang kebetulan.

آخر المقدمة

Perkembangan Tafsir Al-Quran

Ilmu tafsir Al Qur’an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur’an dapat bermakna bagi umat Islam. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut.

Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu filsafat yang digunakan untuk membaca teks Al-Qur’an maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur’an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode Tafsir Hermeneutika dan Metode Tafsir Semiotika.

Para Mufassir (Ahli Tafsir) yang masyhur antara lain:

1) ‘Abdullah ibnu Abbas

Dilahirkan di Syi’bi tiga tahun sebelum hijrah, ada yang mengatakan lima tahun sebelum hijrah, dan wafat di kota Thoif pada tahun 65 H, dan ada yang mengatakan tahun 67 H, dan ‘Ulama’ Jumhur mengatakan wafat pada tahun 68 H., banyak melahirkan beberapa tafsir yang tidak terhitung jumlahnya, dan tafsiran beliau dikumpulkan dalam sebuah kitab yang diberi nama Tafsir ibnu Abbas. Di dalam kitab ini terdapat beberapa riwayat dan metode yang berbeda-beda, namun yang paling bagus adalah tafsir yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah Al Hasyimi.

2) Mujahid ibnu Jabir

Dilahirkan pada tahun 21 H, pada masa ke pemimpinan Umar bin Khattab, dan wafat pada tahun 102/103 H. sedangkan menurut Yahya bin Qhatton, beliau wafat pada tahun 104 H., termasuk tokoh tafsir pada masa tabi’in sehingga beliau dikatakan tokoh paling ‘alim dalam bidang tafsir pada masa tabi’in, dan pernah belajar tafsir kepada Ibnu Abbas sebanyak 30 kali.

3) Atthobari

Bernama lengkap Muhammad bin Jarir, di lahirkan di Baghdad pada tahun 224 H, dan wafat pada tahun 310 H. karangan-karangannya adalah Jami’ul Bayan Fi Tafsiril Qur’an, Tarikhul Umam Al muluk dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.

4) Ibnu Katsir

Bernama lengkap Isma’il bin Umar Al Qorsyi ibnu Katsir Al Bashri. Di lahirkan pada tahun 705 H. dan wafat pada tahun 774 H. termasuk ahli dalam bidang fiqih, hadist, sejarah, dan tafsir, karangan-karangannya adalah Al Bidayah Wan Nihayah Fi Tarikhi, Al Ijtihad Fi Tholabil jihad, Tafsirul Qur’an, dan lain-lainnya.

5) Fakhruddin Ar Rozi

Bernama lengkap Muhammad bin Umar bin Al Hasan Attamimi Al Bakri Atthobaristani Ar Rozi Fakhruddin yang terkenal dengan sebutan Ibnul Khotib As Syafi’i, lahir di Royyi pada tahun 543 H. dan wafat pada tahun 606 H. di harrot, mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pasti, dan juga mendalami ilmu filsafat dan mantiq, karangannya adalah mafatihul Ghoib fi Tafsirul Qur’an, Al Muhasshol fi Ushulil Fiqh, Ta’jizul Falasifah dan lain-lainya.

Cabang Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir

Cabang Ilmu yang terkait dengan Ilmu Tafsir:

1) Lughat (fitologi)

Yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur’an. Mujahid rah.a., berkata, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.

2) Nahwu (tata bahasa).

Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i’rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i’rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.

3) Sharaf (perubahan bentuk kata)

4) Isytiqaq (akar kata)

5) Ma’ani (susunan kata)

6) Bayaan

7) Badi’

8) Qira’at

9) Aqa’id

10) Ushul Fiqih

11) Asbabun Nuzul.

Asbabun-nuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda.

12) Nasikh Mansukh

13) Fiqih

14) Hadits

15) Wahbi

Macam Tafsir Al-Quran

Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab fiqih, kecenderungan sufisme dari mufassir itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. Abdullah Darraz mengatakan dalam an-Naba’ al-Azhim sebagai berikut:

“Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat. ”

Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :

1) Corak Sastra Bahasa: munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang sastra sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.

2) Corak Filsafat dan Teologi : corak ini muncul karena adanya penerjemahan kitab-kitab filsafat yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.

3) Corak Penafsiran Ilmiah: akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka muncul usaha-usaha penafsiran Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.

4) Corak Fikih: akibat perkembangan ilmu fiqih dan terbentuknya madzhab-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

5) Corak Tasawuf : akibat munculnya gerakan-gerakan sufi maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak tasawuf.

6) Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan: corak ini dimulai pada masa Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan enak didengar.

Metodologi Tafsir Al-Quran

Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin dan metode maudlu’i.

1) Metode Tahlili (Analitik)

Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi’i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an.

Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.

Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.

2) Metode Ijmali (Global)

Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.

Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.

3) Metode Muqarin

Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.

4) Metode Maudhu’i (Tematik)

Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

Bentuk Tafsir Al-Quran

Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:

1) Tafsir bi al-Ma’tsur

Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.

Contoh tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an antara lain:

“wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri….” (Surat Al Baqarah:187)

Kata minal fajri adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat al khaitil abyadhi.

Contoh Tafsir Al Qur’an dengan Sunnah antara lain:

“alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin……” (Surat Al An’am: 82)

Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :

“innasy syirka lazhulmun ‘azhiim” (Surat Luqman: 13)

Dengan itu Beliau menafsirkan makna zhalim dengan syirik.

Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal antara lain: Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Abu Laits As Samarkandy, Tafsir Ad Dararul Ma’tsur fit Tafsiri bil Ma’tsur (karya Jalaluddin As Sayuthi), Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Baghawy dan Tafsir Baqy ibn Makhlad, Asbabun Nuzul (karya Al Wahidy) dan An Nasikh wal Mansukh (karya Abu Ja’far An Nahhas).

2) Tafsir bi ar-Rayi

Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.

Contoh Tafsir bir ra’yi dalam Tafsir Jalalain:

“khalaqal insaana min ‘alaq” (Surat Al Alaq: 2)

Kata alaq disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz alaqah yang berarti segumpal darah yang kental.

Beberapa tafsir bir ra’yi yang terkenal antara lain: Tafsir Al Jalalain (karya Jalaluddin Muhammad Al Mahally dan disempurnakan oleh Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi),Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Fakhrur Razy, Tafsir Abu Suud, Tafsir An Nasafy, Tafsir Al Khatib, Tafsir Al Khazin.

3) Tafsir Isyari

Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.

Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:

‘“…….Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah…..” (Surat Al Baqarah: 67)

Yang mempunyai makna zhahir adalah “……Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “….Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah…”.

Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.

Sejarah Tafsir Al-Quran

Sejarah ini diawali dengan masa Rasulullah SAW masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an :

Al-Qur’an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.

Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.

Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah azbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Al-Qur’an antara lain empat khalifah , Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits.

Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar Islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran Al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid antara lain Mujahid ibn Jabir, Atha ibn Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus ibn Kisan al-Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay ibn Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi, Abu al-Aliyah ar-Riyahi dan Zaid ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibn Mas’ud dengan murid-murid al-Hasan al-Bashri, Masruq ibn al-Ajda, Qatadah ibn-Di’amah, Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani dan Marah al-Hamdani.

Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibn Majah, Ibn Jarir at-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut tafsir bi al-Matsur.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai tafsir bi al-ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.

Muqaddimah

Tafsir al-Qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur-an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya.

Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur-an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur’an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul-Qur’an.

Terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.